Hukuman Mati Dalam Kacamata HAM

Hukuman Mati Dalam Kacamata HAM

Smallest Font
Largest Font

Oleh : Zulpikar Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang                                                                     

Wikipedia.org menjelaskan definisi dari Hukuman mati atau pidana mati (bahasa Belanda: doodstraf) adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan. Pidana mati adalah sanksi yang dilakukan dengan suatu pilihan perbuatan mematikan (oleh negara) kepada pelaku tindak pidana yang telah diputus bersalah atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.                                                         

Puguh Wiyono ( Hukuman Mati dalam Rancangan KUHP ) : Sanksi pidana ini telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda, tepatnya saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Henry Willem Daendels berkuasa di Indonesia tahun 1808. Biasanya, hukuman mati ini diberikan kepada warga pribumi yang tidak mau dijadikan suruhan atau tidak menuruti perintah Daendels. Sanksi ini juga bersifat khas dikarenakan setelah eksekusinya dilaksanakan, maka terpidana yang sudah kehilangan nyawa tersebut tidak dapat hidup kembali (apabila ternyata muncul kekeliruan atas perkara yang bersangkutan).                                         

Hal inilah yang merupakan salah satu alasan banyak pihak menolak (kontra) sanksi pidana mati. Pidana mati di dalam KUHP dikenal sebagai jenis sanksi pidana pokok dengan urutan pertama (urutan ini bermakna susunan berdasarkan berat ringannya sanksi pidana), sedangkan pengaturan pidana mati di dalam rancangan KUHP bukan lagi sebagai jenis pidana pokok melainkan hanya sebagai pidana alternatif untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Pengaturan demikian di Pasal 98 RKUHP dinyatakan bahwa pidana ini sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Salah satu alasan hukuman mati bertentangan dengan HAM menurut Puguh Wiyono ( Hukuman Mati dan HAM ) : bahwa hukuman mati itu bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh pasal 28A ayat (1) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hukuman mati juga dianggap pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun seperti termuat dalam pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bahwa “Hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Mengingat hak hidup merupakan hak asasi manusia, maka perampasan nyawa orang lain berupa pembunuhan dalam bentuk penjatuhan hukuman mati adalah pelanggaran ham. Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005 dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan hak hidup adalah suatu hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status kewarganegaraan.  Berikut adalah alasan-alasan lain yang mendukung bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia :

(1).  hukuman mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Hukum internasional hak asasi manusia, termasuk juga yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah menegaskan bahwa praktik eksekusi hukuman mati merupakan suatu tindakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat seseorang,

(2). rapuhnya sistem peradilan pidana, sehingga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, termasuk di Indonesia, kesalahan penghukuman (wrongful conviction) menjadi sesuatu yang seringkali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana,

(3). tidak sejalan dengan arah pembaruan hukum pidana. Pemberlakuan pidana mati cenderung menekankan aspek balas dendam (retributive). Padahal di sisi lain, paradigma dalam tatanan hukum pidana telah mengalami perubahan ke arah keadilan restoratif (restorative justice),

(4). Menurut pandangan konvensional, hukuman mati dianggap perlu untuk mencegah seseorang agar tidak melakukan kejahatan. Sebaliknya, survei komprehensif yang dilakukan oleh PBB, pada 1988 dan 1996, menemukan fakta tiadanya bukti ilmiah yang menunjukan bahwa eksekusi hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dari hukuman penjara seumur hidup,

(5). penderitaan mendalam yang dialami keluarga korban akibat eksekusi. Penderitaan yang dialami dalam pemberian hukuman mati tidak hanya dialami korban atau orang yang dieksekusi semata (terpidana), tetapi juga oleh keluarganya (co-victims). Penderitaan tersebut terjadi dalam beberapa tahapan, mulai dari shock, emosi, depresi dan kesepian, gejala fisik distress, panik, bersalah, permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan untuk kembali ke kegiatan biasa, harapan, dan penegasan realitas baru mereka,

(6). kecenderungan internasional yang semakin meninggalkan praktik hukuman mati. Laporan Amnesty International menyebutkan, sampai dengan April 2015, sedikitnya 140 negara telah menerapkan kebijakan abolisionis terhadap hukuman mati, baik secara hukum (de jure) maupun secara praktik (de facto). Sedangkan yang masih menerapkan dan menjalankan praktik hukuman mati, tinggal 55 negara.(Red)

Editors Team
Daisy Floren