Pendiri Yayasan Pusaka Tangerang “Pendidikan Seharusnya Membebaskan Pikiran Dari Keterbelengguan“
Tangerang - Pendidikan yang membebaskan adalah sebuah proses belajar yang membuat siswa tidak membuang-buang waktunya untuk menampung banyak informasi, namun tidak mengalami penyadaran.
Ilmu pengetahuan diturunkan dari generasi ke generasi seharusnya dengan kejujuran dan tanggung jawab. Bukan Pendidikan yang cenderung mengabaikan beberapa nilai pembebasan, manusia dianggap seperti mesin mekanik yang harus dipatuhi dari sistem. Tidak ada kebebasan berpikir, kebebasan bertindak, kebebasan dalam berekspresi dan kebebasan untuk memberikan ide.
Berbicara tentang pendidikan yang membebaskan, Zulpikar selaku pendiri Yayasan Pusaka Tangerang berpendapat ,“secara umum Pendidikan merupakan usaha untuk memerdekakan manusia, sedangkan menurut salah satu ahli pendidikan yaitu Paulo Freire pendidikan merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat yang memerdekakan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan atau bisa disebut dengan usaha untuk memanusiakan manusia”.
Zulpikar melanjutkan konsep pendidikan yang membebaskan menurut Ki Hadjar Dewantara : " pendidikan yang memiliki konsep kemerdekaan berarti bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di masyarakat. Siswa harus memiliki jiwa merdeka dalam artian merdeka secara lahir dan batin serta tenaganya. Jiwa yang merdeka sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte oleh negara lain". Artinya : “ merdeka belajar merupakan sebuah gagasan yang membebaskan para guru dan siswa dalam menentukan sistem pembelajaran. Tujuan dari merdeka belajar, yakni menciptakan pendidikan yang menyenangkan bagi siswa dan guru karena selama ini pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada aspek pengetahuan daripada aspek keterampilan”.
Sesungguhnya tantangan paling nyata pendidikan kita saat ini adalah faktor keberlangsungan proses pembelajaran yang cenderung bersifat teoretis dan minim kontekstualisasi. Pengajaran yang cenderung “guru sentris” membuat para peserta didik yang notabene masuk kategori milenial dan zilenial merasa jenuh dan membosankan. Bukan zamannya lagi, proses pendidikan di negeri ini hanya mengandalkan pola umum sebagaimana yang diadopsi oleh mayoritas institusi pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pungkas Zulpikar,(Red)